You Don’t Waste Good

Leroy Jethro Gibbs, seorang tokoh sentral dalam serial televisi NCIS (Naval Criminal Investigative Service), dikenal dengan aturan-aturannya yang tak tertulis namun sangat mendalam. Salah satu aturan yang paling menonjol adalah Rule No. 5: “You Don’t Waste Good.” Aturan ini menjelaskan bahwa ketika kita memiliki sesuatu yang baik, hal tersebut tidak boleh disia-siakan—harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya. Serial ini cukup lama menghipnotis saya dengan bagaimana hubungan antara tokoh di dunia pekerjaan yang memiliki tuntutan profesional tinggi, terlepas dari budaya kekeluargaan yang juga kuat di dalamnya.

Secara sederhana, prinsip “You Don’t Waste Good” ini tentunya dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sesederhana ketika kita memiliki makanan berlebih di rumah. Terkadang kita merasa sayang untuk segera menghabiskannya, entah karena terlalu enak atau mungkin terlalu mahal, dan memutuskan untuk menunda memakannya di lain waktu, menunggu momen yang pas. Namun sering kali, yang terjadi justru kita lupa dalam kesibukan, dan kemudian makanan itu terlanjur basi. Padahal, seharusnya lebih baik makanan tersebut dibagikan kepada tetangga, satpam kompleks, atau bahkan tunawisma di jalanan yang akan sangat bersyukur menikmatinya.

Contoh lain adalah bagi mereka yang suka mengoleksi barang-barang sebagai hobi, seperti tas, sepatu, atau mainan. Karena memiliki koleksi yang banyak, sering kali ada barang yang jarang terpakai sebelum akhirnya rusak karena lembab, getas, atau dimakan usia. Lebih baik barang-barang ini diberikan kepada mereka yang memerlukannya daripada disimpan dan menjadi mubazir. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak menyia-nyiakan apa yang ada di hadapan kita—apa yang kita miliki—baik dalam skala kecil maupun besar.

Mengapa Perusahaan Sering Kali Menyia-nyiakan Sumber Daya Karyawannya?

Dalam dunia kerja, hal serupa sering terjadi. Jika dihubungkan dengan prinsip tadi, banyak sekali kejadian di mana perusahaan kehilangan karyawan yang memiliki performa tinggi dan berkualitas karena berbagai alasan, entah itu tuntutan finansial, konflik dengan tim atau atasan, atau sekadar kebosanan dengan rutinitas yang membuat mereka mencari tantangan baru.

Tentu saja, masalah finansial sering kali menjadi dilema. Jika seorang karyawan menuntut gaji yang lebih tinggi daripada yang mampu diberikan perusahaan, terkadang tidak ada pilihan lain selain melepas karyawan tersebut. Ironisnya, sering kali penggantinya malah dibayar dengan gaji yang lebih tinggi, dan perusahaan harus menghabiskan waktu dan sumber daya untuk melatih karyawan baru agar bisa mencapai performa yang ditinggalkan oleh karyawan sebelumnya. Itupun jika penggantinya dapat mengisi performa yang digantikan.

Jika masalah finansial bukan kendalanya, sering kali alasan lain yang memicu resign adalah konflik dengan atasan atau tim. Karyawan yang memiliki performa baik mungkin merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja, meskipun mereka mencapai target yang diharapkan. Ketika hal ini terjadi, karyawan sering kali memilih untuk pindah ke perusahaan lain, padahal mungkin perusahaan tersebut bisa menempatkannya di divisi lain di mana dia bisa berkembang lebih baik dan merasa lebih nyaman.

Ada juga situasi di mana karyawan ingin mencoba tantangan baru. Misalnya, seorang karyawan teknik yang ingin beralih ke bidang komersial, seperti sales atau marketing. Namun, sering kali perusahaan menolak permintaan ini karena merasa karyawan tersebut sudah sangat mumpuni di bidang teknik, dan sulit menemukan pengganti yang setara. Perusahaan khawatir performa mereka akan menurun jika karyawan ini tidak lagi memegang posisi di bidang teknik. Akibatnya, karyawan yang ingin tantangan baru ini akhirnya memilih untuk mencari peluang di perusahaan lain. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya kehilangan ahli tekniknya, tetapi juga kehilangan karyawan berperforma tinggi.

Internal Transfer Sebagai Salah Satu Opsi Solusi

Beberapa perusahaan multinasional telah menyadari potensi sistem internal transfer atau internal job posting, di mana karyawan dapat berpindah ke posisi lain tanpa harus meninggalkan perusahaan. Jika ada posisi kosong yang dibuka, perusahaan akan melakukan internal job posting terlebih dahulu ke semua karyawan, berharap seandainya ada dari mereka yang ingin mencoba tantangan baru (apapun alasannya), sebelum membuka lowongan ini bagi pelamar di luar perusahaan.

Saya punya seorang kolega yang telah mengalami proses ini tidak hanya sekali, atau dua kali, tapi sudah tiga kali dalam satu perusahaan. Perpindahannya pun bukan karena masalah performa atau ketidakcocokan dengan atasannya, melainkan karena ia ingin mempelajari dan menguasai keahlian baru. Sebelumnya, ia telah menunjukkan performa yang baik di tempat-tempat sebelumnya, dan perpindahan ini bukan tindakan “kutu loncat,” melainkan keinginan yang tulus untuk berkembang.

Hasilnya, kolega saya merasa didukung oleh perusahaan dan mendapatkan pengalaman di berbagai bidang yang berbeda. Pada akhirnya, hal ini juga menguntungkan perusahaan, karena mereka memiliki karyawan dengan keahlian lintas fungsi yang lebih kaya. Sistem internal transfer ini tidak hanya berlaku untuk promosi, tetapi juga perpindahan horizontal, di mana karyawan dapat mengeksplorasi bidang lain yang mungkin lebih cocok dengan minat mereka.

Yang lebih menarik, persetujuan dari atasan lama tidak selalu diperlukan. Selama karyawan lolos proses seleksi dan diterima oleh calon atasan baru, mereka bisa melanjutkan proses perpindahan tersebut tanpa perlu khawatir tentang persetujuan dari atasan lama. Atasan yang lama pun harus “legowo”, tidak boleh melakukan judgment atau retaliation dalam bentuk apapun terhadap karyawan ini dalam tugas barunya, dalam semangat yang sama, demi kebaikan yang lebih besar bagi karyawan itu sendiri maupun perusahaan. Ini menciptakan lingkungan yang lebih dinamis di mana perusahaan tidak khawatir kehilangan talenta terbaiknya. Daripada dibajak oleh perusahaan lain, karyawan tetap dipertahankan, dan perusahaan menghemat waktu serta tenaga dalam proses rekrutmen dan pelatihan. Bahkan, pencegahan tingkat resign melalui internal transfer sudah menjadi KPI yang dimiliki oleh divisi Kepegawaian.

Perubahan Fungsi Personalia: Dari HRD ke Talent Management

Hal ini membawa kita ke perubahan evolusi yang terjadi dalam fungsi kepegawaian perusahaan. Fungsi yang pada awalnya dikenal sebagai Personalia (terbatas pada pencatatan pegawai, penggajian, dan administrasi aturan tenaga kerja), berkembang menjadi Human Resource Development (HRD), yang melibatkan pengembangan karyawan melalui pelatihan, menjaga hubungan kerja, serta fokus pada seleksi rekrutmen. Seiring waktu, fungsinya semakin berkembang menjadi Human Capital (HC), di mana karyawan dipandang sebagai aset berharga yang memerlukan investasi dalam pengembangan dan kesejahteraan mereka untuk memaksimalkan potensi.

Kini, hierarki yang lebih tinggi telah berkembang menjadi Talent Management, yang fokus pada pengelolaan karyawan secara strategis, termasuk pengembangan, promosi, dan optimalisasi karyawan sebagai aset perusahaan. Talent Management melihat karyawan bukan hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai sumber daya berharga yang membawa manfaat jangka panjang bagi bisnis.

Rule #5: "You Don’t Waste Good"

Perubahan evolusi dari Personalia, HRD, HC hingga Talent Management ini sejalan dengan prinsip “You Don’t Waste Good.” Mengedepankan potensi karyawan melalui internal transfer adalah salah satu solusi konkret yang mencerminkan pemikiran ini—mempertahankan talenta berbakat dalam perusahaan dengan memberikan mereka ruang untuk berkembang, daripada kehilangan mereka hanya karena ketiadaan kesempatan. Prinsip ini tidak hanya menguntungkan karyawan, tetapi juga membawa dampak positif bagi perusahaan yang ingin memaksimalkan aset manusianya.

Internal transfer memungkinkan perusahaan untuk menjaga aset berharga mereka di dalam organisasi, mengoptimalkan bakat, dan meminimalkan kerugian akibat resign yang bisa dicegah. Proses ini adalah salah satu wujud nyata dari strategi Talent Management yang baik—tidak membuang yang baik, tetapi mengembangkan dan mempertahankannya.

Pertanyaan untuk Pemimpin: Beranikah Anda?

Sebagai penutup, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan bagi para pemimpin dan pemilik perusahaan: Beranikah Anda mengambil langkah untuk benar-benar mendukung konsep internal transfer, serta bergerak lebih jauh dari sekadar Human Resource dan Human Capital ke Talent Management yang sesungguhnya? Apakah perubahan ini hanya sebatas pada nama, mengikuti tren yang viral, atau memang betul-betul sudah menyentuh esensi yang lebih dalam—melihat dan mengelola karyawan sebagai aset strategis perusahaan?

Pada akhirnya, keputusan ini bisa menjadi faktor kunci yang menentukan apakah perusahaan akan mampu mempertahankan talenta terbaiknya dan memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Karena bagaimanapun, seperti yang disebutkan oleh Gibbs Rule #5: You Don’t Waste Good.

Share this IQ Notes: