Wake Me Up When ‘my suicidal’ Ends

Disclaimer: Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang mengalami pikiran untuk bunuh diri, penting untuk segera mencari bantuan. Jangan melalui ini sendirian. Hubungi tenaga profesional, seperti psikolog, psikiater, atau layanan kesehatan mental terdekat. Anda juga dapat menghubungi layanan darurat atau hotline pencegahan bunuh diri yang tersedia di wilayah Anda. Ingat, bantuan selalu tersedia, dan ada orang-orang yang peduli dan siap mendengarkan. Jangan ragu untuk mencari dukungan.

Pada 2009, kurang lebih 15 tahun yang lalu, saya menulis sebuah artikel dalam catatan daring saya melalui blog yang saya miliki. Tulisan itu ditulis saat saya dalam kondisi lelah akan segala sesuatu yang harus saya hadapi, dan saya memberikan judul artikel tersebut ‘Suicide’, yang paragraf pertamanya merupakan ‘clickbait’ dengan menceritakan cara paling efektif untuk mengakhiri hidup.

Isi artikel yang saya tulis tersebut menceritakan cara-cara paling efektif untuk mengakhiri hidup tergantung dari pandangan atau keyakinan Anda terhadap banyak hal, khususnya jika dihubungkan dengan kepercayaan Anda terhadap hal seperti reinkarnasi, konsekuensi akhir berupa surga dan neraka, dan tentunya jika Anda sama sekali tidak mempercayai salah satu dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, atau lebih jelasnya, jika Anda adalah seorang ateis.

Menariknya, jika suatu saat Anda sempat membacanya, dari artikel yang sengaja saya kemas dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia) itu, bukanlah metode-metode mengakhiri hidup yang saya soroti, melainkan bagaimana cara paling efektif untuk mengakhiri hidup adalah dengan tetap menjalani hidup dengan segala kepedihan yang ada, daripada mencoba mengakhirinya. Agak mbulet memang kesan kalimat terakhir tadi. Tapi jika Anda punya sedikit waktu lebih, cobalah baca sekilas artikel itu.

"Suicide"

Beberapa saat lalu saya membuka banyak website yang menawarkan 101 cara bunuh diri dan juga beberapa diskusi online dimana banyak yang menanyakan cara bunuh diri. Dari situs-situs diatas saya akhirnya menyimpulkan bahwa cara-cara tersebut sangat menyakitkan. Jadi akhirnya saya menyimpulkan cara-cara berikut yang paling efektif dalam tiap segmen untuk anda lakukan jika anda ingin bunuh diri.

Jika anda atheis:
Saya sarankan anda tidak perlu bunuh diri, karena toh anda tidak percaya Tuhan, jadi kenapa bunuh diri, toh setelah anda mati, anda tidak mengenal surga dan neraka. Ga bisa dapat lebih baik, ataupun jelas mau kemana. Jadi nikmatin aja, hidup cuma sekali.

Jika anda percaya reinkarnasi:
Sama juga, ngapain anda bunuh diri. Untung kalo anda dilahirkan kembali jadi dewa, lha kalo lagi apes? Dilahirkan di dunia hewan? Lah, lebih merana hidup anda daripada sekarang.

Jika anda percaya Tuhan (agama, surga dan neraka):
Cara bunuh diri anda yang paling efektif adalah “Berdoa sebelum tidur”, dengan doa demikian: “Tuhan, jika memang Kau kehendaki, ijinkan aku tidur dan tidak terbangun lagi”. Jika memang Tuhan merasa anda sudah tidak diperlukan lagi di dunia ini, ya pasti diijini oleh Dia, tapi kalau semisal, semisal saja nie, esok harinya anda masih bisa bangun, maka yakinlah walaupun seberapa menyedihkannya hidup dan nasib anda di dunia ini, Tuhan masih menginginkan anda untuk hidup dan berbuat sesuatu buat Dia.

Sayangnya, 15 tahun kemudian, keinginan saya untuk mengakhiri hidup sepertinya tak lekang oleh waktu, sebagaimana kata-kata yang sering dipilih oleh para pujangga. Terlepas dari naik turun kehidupan yang harus dihadapi, walaupun menurut Bung Karno, itulah yang dapat membuat seseorang (atau dalam pidatonya, “negara”) menjadi besar, saya masih berharap bisa ‘mati muda’, walaupun beberapa tahun terakhir saya merasa cita-cita itu menjadi naif adanya. Bukan, bukan karena saya tak lagi ingin ‘mati muda’, tetapi sesederhana bahwa saya sudah tak lagi muda.

Kutipan Soe Hok Gie kemudian terlintas kembali di pikiran saya: “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”, ucapnya. Menariknya, Soe Hok Gie ternyata kalau boleh dikatakan memang cukup baik nasibnya, ia mati di usia 26 tahun di Gunung Semeru, usia yang cukup muda. Tapi tak usahlah kita berbicara panjang mengenai nasibnya di tulisan ini, tentunya hal itu, walaupun menurut dia nasib baik, tetap meninggalkan rasa duka.

"Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.

Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda."

Soe Hok Gie

Tulisan dengan tema yang kurang lebih sama ini kembali ditulis saat ini di bulan September 2024, dan seandainya Anda belum tahu, bulan September selalu menjadi bulan peringatan bagi pencegahan bunuh diri sedunia. Ya, satu bulan lamanya, tak sekadar satu hari saja, dan tak seperti hari peringatan lainnya, tak banyak yang mengetahui tentang Suicide Prevention Month ini. Saya pun tak tahu persisnya kenapa, meskipun saya berusaha mencari di berbagai sumber di internet. Tetapi saya mendapatkan jawaban menarik ketika saya bertanya ke salah satu AI yang saya gunakan. Katanya: “Transisi dari musim panas ke musim gugur (pergantian musim) dapat meningkatkan tantangan kesehatan mental dan suasana hati lainnya”. Tentu tak serta-merta dapat dipercaya, tapi sudut pandang yang menarik untuk dipertimbangkan, mengingat banyak dari kita yang memang merasa lebih ‘gloomy’ saat cuaca juga ‘gloomy’.

Mestakung (semesta mendukung) kah? Entahlah, tapi hal lain yang juga menarik adalah bahwa setiap bulan September (khususnya awal bulan), tak jarang orang mengunggah status dengan judul lagu dari Green Day, ‘Wake Me Up When September Ends,’ sebagai opsi caper/pansos dengan nada bercanda. Tapi saya yakin tak banyak yang tahu, bahwa lagu tersebut, yang sering kali dinyanyikan dengan teriakan dan senyuman khas ruang karaoke, sebenarnya merupakan lagu gundah gulana yang ditulis oleh penyanyinya, Billie Joe Armstrong, mengenang kepedihan atas kepergian ayahandanya akibat kanker di bulan September 1982. Walaupun lagu ini dirilis lebih dari dua dekade kemudian, pada 2005, kepedihan Armstrong dapat terbaca jelas dalam liriknya, yang mungkin tak banyak orang perhatikan.

Dan memang, seringkali rasa pedih apapun itu hanya bisa diselesaikan dengan (salah satunya) makan yang enak (comfort food), mandi dengan shower air panas, ataupun dengan tidur yang panjang (itu pula sebabnya banyak obat penenang yang memberikan efek sedative, membuat peminumnya tertidur lelap dari otak yang berkecamuk sana-sini, membuat kutipan lagu tadi, ‘wake me up’ dari tidur panjangku saat ‘september’ (mimpi buruk yang pedih ini) berakhir terasa makin pas sesuai dengan temanya.

Tapi, semisal Anda sudah tahu bahwa bulan ini adalah bulan pencegahan bunuh diri, dan Anda memiliki keluarga/teman yang sedang ‘suicidal’, tahukah Anda apa yang harus dilakukan? Sayangnya, tak banyak yang mengetahui apa yang harus diperbuat, dan bahkan malah menguliahi mereka dengan kata-kata: “Kenapa bunuh diri? Nasi pecel masih enak, kamu kurang dekat dengan Tuhan, tidakkah takut dengan neraka.” Kata-kata ini tidak hanya tidak berguna untuk mereka dengar, tetapi juga seolah-olah mendorong mereka untuk menarik pelatuknya. Tak sedikit pula yang menjadikannya kompetisi: “Ah, baru begitu saja, nasibku lebih buruk, aku bisa mengatasinya.” Suicidal tak pernah berbicara tentang hidup siapa yang lebih sulit atau lebih bahagia, tak berbicara tentang harta benda, atau kondisi hidup yang masih ada atau di masa depan. Mereka yang suicidal memiliki kisah unik mereka sendiri, tak meminta untuk dimengerti.

Kalaupun Anda memiliki keluarga/teman yang sedang suicidal, cukup temani saja di titik terendahnya, cukup dengarkan dan dampingi, tak usah menghakimi atau berusaha memberikan solusi, terutama solusi-solusi yang jelas (baby-step). Yakinlah, mereka sudah memikirkan banyak cara sebelum memikirkan opsi bunuh diri tadi. Jika Anda bisa meyakinkan mereka untuk mendapatkan bantuan profesional (psikiater atau dokter), bagus, tetapi jika tidak, cukup dampingi mereka dan pastikan mereka tidak mengambil jalan pintas saat berada di bawah pengawasan Anda. Saya mengutip satu unggahan di Instagram yang cukup pas seandainya Anda memiliki waktu untuk beralih platform sejenak di sini.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan semangat yang sama namun sedikit berbeda dari tulisan saya sebelumnya. Yang pertama, bagi Anda yang sedang menikmati masa-masa kelam ini, tak banyak yang bisa saya bantu. Mungkin saya hanya bisa menemani Anda melalui lagu ciptaan Bondan Prakoso, ‘Ya Sudahlah’. Lagu yang kurang lebih menggambarkan, terlepas dari apapun hal berat yang membayangi Anda, apapun yang terjadi, kalaupun toh bukan saya, akan ada orang yang akan selalu ada untukmu. Carilah orang itu untuk menemani Anda. Jangan bersedih, ‘cause everything’s gonna be okay, and hopefully September (as in whatever nightmare you had) will also end.

Share this IQ Notes: