Take time to do what makes you happy!

Hari ini, meskipun saya bukan peminum kopi, tampaknya saya mulai membangun kebiasaan baru bersama rekan kerja di kantor baru untuk berbelanja di Starbucks atau Subway dengan memanfaatkan kode promo yang terkadang kami terima melalui SMS atau LINE. Ya, Anda tidak salah baca—SMS! Media komunikasi yang mungkin sudah jarang digunakan oleh banyak orang, namun bagi kami yang menggunakan TELKOMSEL/HALO, salah satu penyedia layanan telekomunikasi di Indonesia, mereka masih rutin mengirimkan kode promo belanja hampir setiap hari dari beberapa tenant yang mungkin memang “itu-itu saja”. Namun, kadang-kadang promo tersebut tetap berhasil menggoda kami untuk datang dan berbelanja karena menariknya penawaran tersebut. Selain untuk menghemat (karena tak jarang kami mendapatkan promo “Buy 1 Get 1”), saya juga berharap dapat mempererat hubungan saya dengan rekan baru sembari bekerja di kafe menikmati suasana yang berbeda.

Kebetulan kali ini kami mendapatkan promo yang bisa digunakan di Starbucks. Meskipun terdengar sedikit mainstream ngopi di Starbucks, tetapi ada satu hal di Starbucks yang selalu menarik perhatian saya, yaitu personalisasi tulisan pada gelas kopi mereka. Meskipun terkadang tulisan tersebut terlalu umum atau bahkan membosankan, hingga sering kali saya mengabaikannya, atau mungkin baristanya lupa menulisnya sama sekali, namun kali ini berbeda. Barista menuliskan sesuatu yang membuat saya tertegun: “Take time to do what makes you happy!”

Kenapa tulisan ini menarik bagi saya? Karena dalam beberapa hari terakhir, bahkan hingga saat ini, saya merasa berada di persimpangan berbagai pilihan dan dihadapkan dengan permasalahan yang tidak hanya membuat kepala saya serasa ingin meledak, tetapi juga menimbulkan kebimbangan dan rasa stres karena saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam kekalutan ini, tidak hanya sekali atau dua kali, orang terdekat saya selalu mengingatkan dengan kalimat yang sama: “Do what makes you excited and happy.” Mungkin terdengar sederhana, namun kata-kata itu terus berulang dalam pikiran saya—seolah memberikan pesan bahwa dalam kondisi apapun, keputusan yang kita ambil seharusnya tidak hanya berlandaskan pada keuntungan finansial atau harapan untuk mendapatkan kesuksesan yang besar, tetapi terkadang cukup pada apa yang membuat kita benar-benar merasa bahagia.

Hal ini kemudian mengingatkan saya pada film The Pursuit of Happyness yang dibintangi oleh Will Smith. Film yang diambil dari kisah nyata ini bercerita tentang seorang pria bernama Chris Gardner yang menghadapi banyak tantangan hidup, mulai dari kehilangan tempat tinggal, kesulitan ekonomi, hingga menjadi ayah tunggal. Namun, di tengah segala keterbatasan itu, Chris tidak pernah berhenti berusaha untuk mengejar kebahagiaannya. Baginya, kebahagiaan bukan hanya tentang memiliki uang atau mencapai kesuksesan besar, tetapi tentang mencapai sesuatu yang ia yakini sebagai tujuan hidupnya.

Menariknya, selain kisah perjuangan yang saya yakin dapat membuat air mata Anda mengalir, film ini juga memberikan makna lain dari kata “happyness” itu sendiri. Dalam salah satu adegan, ketika Chris mengunjungi daycare untuk menitipkan putranya, dia memperhatikan mural di dinding yang menuliskan “happiness” dengan salah eja menjadi “happyness.” Chris awalnya protes, bagaimana mungkin daycare mengajarkan ejaan yang salah ke anak-anak. Tetapi kemudian dia merenungkan dalam refleksinya, mengapa kata tersebut ditulis dengan huruf y, yang seolah menggambarkan pertanyaan besar “why”mengapa kebahagiaan seringkali terasa sulit dicapai? Mengapa kita harus berjuang begitu keras untuk mendapatkannya?

Chris bahkan mengutip bagian dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak dapat dicabut, yaitu hak atas hidup, merdeka, dan mengejar kebahagiaan (Rights of life, liberty, and the pursuit of happiness). Ia kemudian berpikir, mengapa Thomas Jefferson memilih menambahkan kata “pursuit” di depan happiness—kenapa tidak langsung saja mengatakan bahwa kita memiliki hak untuk hidup, merdeka, dan bahagia? Apakah mungkin Jefferson juga sadar bahwa kebahagiaan hanyalah sesuatu yang dapat dikejar, tanpa pernah benar-benar dapat kita miliki sepenuhnya?

"All men are created equal, ...
... with certain unalienable rights, that among these are
Life, Liberty, and the pursuit of Happiness"

Declaration of Independence

Tetapi saya rasa malah justru refleksi tadi membawa kita pada filosofi yang lebih mendalam dalam film ini, bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah atau diberikan begitu saja. Justru, kebahagiaan harus dikejar (pursued), dan di sepanjang perjalanan itu, kita sering kali akan bertanya-tanya tentang “why”—mengapa kebahagiaan terasa begitu jauh, mengapa ada begitu banyak hambatan, mengapa hidup terasa tidak adil. Inilah makna dari tidak adanya “y” (why) dalam “happiness”—karena kebahagiaan sejati bukanlah tentang menemukan jawaban atas semua pertanyaan kita, melainkan tentang perjalanan yang kita tempuh untuk mencapainya, meskipun penuh tantangan.

Pada akhirnya, terlepas dari segala kebingungan yang sedang saya hadapi, setidaknya saya menyadari bahwa kebahagiaan tidak akan datang hanya dengan mengikuti standar atau ekspektasi orang lain, tetapi kepada sesuatu yang memang sesederhana dapat membuat kita bahagia atau sekadar tersenyum. Seperti pesan di gelas kopi saya hari ini: “Take time to do what makes you happy!”

Bukan perkara mudah untuk melakukan apa yang membuat kita bahagia, terutama ketika ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Namun, setidaknya, pesan kecil dari barista Starbucks hari ini berhasil membuat saya tersenyum dan sejenak melupakan segala kerumitan hidup. Mungkin, hanya dengan dorongan kecil tersebut, langkah pertama saya ataupun Anda, untuk menemukan kebahagiaan—baik dalam kehidupan maupun pekerjaan—bisa dimulai.

Share this IQ Notes: