Apa yang Anda pikirkan ketika Anda membaca ataupun mendengar kata “provokasi”? Tunggu-tunggu, tenang. Tulisan ini tidak terkait dengan fenomena politik dalam negeri ataupun lintas negara yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak terkait juga dengan demonstrasi-demonstrasi yang mungkin sedang berjalan dalam memperjuangkan apa yang menjadi keyakinan para demonstran. Tulisan ini membahas hal lain, yang walaupun masing-masing kata ini sering disebutkan dalam keseharian, tetapi secara penggunaan kalimat, jarang disebutkan secara bersamaan dalam menjadi suatu konteks tunggal, yakni “PROVOKASI POSITIF”.
Disclaimer barusan dibuat karena ketika saya menanyakan apa yang Anda pikirkan ketika membaca atau mendengar kata “provokasi”, saya yakin hampir kesemua dari Anda akan memberikan respon bahwa “provokasi” itu adalah hal yang sungguh negatif, yang hanya akan membawa kepada hal-hal tidak baik lainnya. Dan, memang benar, Anda tidak salah, bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita menyatakan, bahwa definisi “provokasi” adalah “perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; dan pancingan”. KBBI juga memberikan definisi lain pada kata yang serupa dan bertautan, yakni “terprovokasi”, disebutkan bahwa “terprovokasi” memiliki arti “terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif, misalnya perusakan”.
Bagaimana dalam bahasa lainnya yang lebih internationally spoken, inggris misalnya? Cambridge Dictionary mendefinisikan “provoke” sebagai “to cause a strong and usually angry reaction; to intentionally make someone angry so that they react in an angry or violent way”. Ternyata, tak hanya di kamus Bahasa Indonesia saja, dalam Bahasa Inggris pun, “provokasi” dikenal hanya dalam konteks yang negatif, sehingga tak ayal, semua orang menghindari untuk mendapat julukan “provokator” dalam konteks apapun.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, saya mengalami beberapa hal yang entah kenapa membuat saya memikirkan ataupun mencetuskan 1 (satu) istilah baru, yakni “PROVOKASI POSITIF”. Semua berawal ketika saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya di jenjang master (S2). Dalam usia yang tentunya tak lagi “sangat muda”, dan sudah cukup lama meninggalkan bangku pendidikan, saya yang sangat mempercayai bahwa segala jenis pendidikan dapat didapatkan oleh mereka yang memiliki jiwa pembelajar secara otodidak, akhirnya memilih untuk mensertifikasi ilmu yang saya miliki di dunia manajemen dan pemasaran dengan mengambil jurusan MBA (Master of Business Administration) di salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia.
Berbekal ilmu otodidak saya tadi (please note bahwa bagi saya, ilmu otodidak berbeda dengan ilmu praktisi, ilmu praktisi belum tentu sejalan dengan teori akademik, sedangkan ilmu otodidak bagi saya tetap memperhatikan konsep akademik yang sudah merupakan proses penelitian ataupun pengalaman yang sudah teruji), saya dalam berbagai macam kesibukan dan masalah hidup, masih dapat menyelesaikan studi saya tidak hanya dalam waktu yang relatif lebih singkat daripada yang lain, tapi juga dapat lulus dengan IPK yang sempurna 4.00 (yang seringkali saya gunakan sebagai bahan bercanda, hal ini hanya terjadi karena saya kebanyakan micin, kalau tidak, harusnya saya bisa lulus IPK 10.00 hehe).
Saat menjalani proses perkuliahan tersebut, dan bahkan sebelum lulus, dalam berjalannya perkuliahan tentunya saya mulai tersorot dengan IPK saya, yang awalnya masih ada beberapa mahasiswa dengan IPK sempurna di semester pertama, kemudian berkurang sedikit demi sedikit sampai di saat kelulusan, hanya saya yang dapat mempertahankan IPK 4.00 tersebut. Yang menarik adalah bukan “crab mentality” yang saya dapatkan dari teman-teman kuliah saya, mereka tak berusaha menjatuhkan saya dengan misalnya mensabotase tugas kelompok, agar nilai saya jeblok, tapi bagaimana akhirnya banyak kompetisi positif (“ambis” mungkin istilahnya jaman sekarang) dari teman-teman tersebut untuk dapat bersama-sama kejar mengejar IPK yang bagus. Dan walaupun memang pada akhirnya belum ada yang berhasil mendapatkan IPK sempurna, tetapi kompetisi positif tersebut melahirkan banyak teman-teman yang memiliki IPK IPK yang tak kalah baik, entah 3.7x, 3.8x, dan bahkan 3.9x. Betapa bangga saya pada waktu itu dapat bersanding dengan mereka dan memberikan (secara tidak langsung) inspirasi kepada yang lain.

Tak berhenti dari situ, dalam keseharian bekerja dan mengajar, tiba-tiba salah satu kolega yang pernah hadir dalam sesi pelatihan saya memberikan kabar: “Mas, aku kuliah lagi, S1, semoga dalam 4 tahun dapat kuselesaikan”. Saya kaget, karena beliau (sama seperti saya) sudah tak lagi muda (sayangnya), beliau juga sudah meninggalkan proses studi akademik yang cukup lama (lebih dari 10 tahun lalu), beliau seorang wanita yang harus membesarkan putri-putrinya, dan beliau (karena belum S1) memang tidak bisa langsung melanjutkan studi S2 yang mungkin secara waktu akan lebih singkat dan lebih mudah untuk diselesaikan.
Dengan kaget saya sedikit bertanya: “Kok bisa?”. Jawabnya: “Ya, punya temen pinternya minta ampun, jadi bikin aku ingin kuliah lagi”. Dan, karena pembicaraan tadi hanya melalui whatsapp (wa), saya yakin kolega saya ini tak melihat bagaimana saya sedikit berlinang air mata dan menghela nafas cukup dalam dengan kelegaan dan kebanggaan. Bukan lega dan bangga karena dia memuji saya pintar, tapi karena dalam segala keterbatasan dia (usia, waktu, keluarga), saya lega dan bangga dia mengambil langkah yang tidak hanya akan menjadikan dia seorang yang memiliki jiwa pembelajar yang baru, tapi juga semoga menginspirasi putri-putri nya dan lingkungan dimana dia berada.
Di beda tempat, saya memiliki rekan yang berbeda, rekan yang awalnya bermula sebagai kolega dalam dunia perlistrikan, tetapi kemudian beliau banting setir menjelma menjadi seorang konsultan bisnis. Unik dan menarik, karena ijazah S1 nya dunia teknikal, tapi karena pengalaman otodidak dan praktisinya, beliau berani dan bisa menjadi seorang konsultan bisnis yang mumpuni. Saya ingat awal-awalnya beliau mengundang saya untuk berpartisipasi mengajar dalam kegiatan beliau, beliau selalu dengan bangganya memperkenalkan saya sebagai seorang yang lulus dari kampus utama di Indonesia dengan IPK 4.00 sempurna, yang entah digunakan hanya sebagai marketing-gimmick bagi peserta, tapi hal ini sepertinya dapat membuat partisipan lebih tertarik untuk belajar.
Karena sering memperkenalkan saya, sepertinya beliau ini sedikit terpacu untuk juga harus memiliki gelar master, utamanya yang dapat membantu beliau sebagai seorang konsultan. “Masa kalah sama Sonix”, begitu mungkin ujarnya. Dan kalau saya tidak salah ingat, beliau juga yang mencetuskan kalimat “terprovokasi oleh Sonix nih” kepada kolega-kolega lain yang mengetahui proses studinya. Pada akhirnya, setelah melalui proses perjuangan yang panjang, beliau dapat menyelesaikan pendidikan S2-nya dengan baik, dan tidak hanya beliau, hal lain yang lebih membanggakan adalah beliau kuliah dan lulus bersama dengan istri beliau, dan diwisuda pada saat yang bersamaan pula.

Apakah berhenti sampai disitu? Ternyata tidak. Saya kemudian menetapkan suatu tujuan bagi diri saya sendiri, satu purpose untuk dapat menambah 1 (satu) gelar dalam setiap tahunnya. Saya memunculkan istilah bagi saya sendiri “Menuju 1 tahun 1 gelar”, dimana saya akan terus berupaya belajar dan menambah gelar di belakang nama saya baik secara akademik maupun secara sertifikasi profesi (non-akademik), yang tentunya memiliki tujuan selain terus belajar dan mengembangkan diri serta pengetahuan yang saya miliki, untuk kemudian dapat saya bagikan kepada yang lain (sesuai dengan credo IQ DEVPRO: “Never Stop Learning, Never Stop Sharing”), dan juga untuk menginspirasi dan memberikan “PROVOKASI-PROVOKASI POSITIF” lainnya pada jiwa-jiwa pembelajar yang lain.
Dengan mulai menumpuknya gelar-gelar saya dalam 3 tahun terakhir, tak sedikit akhirnya yang kemudian ikut serta, menginvestasikan waktu dan keuangan mereka untuk kemudian turut serta belajar, mengejar beasiswa, dan menambah gelar-gelar yang sama dengan yang saya telah dapatkan. Jiwa-jiwa pembelajar baru.
Saya akhiri tulisan ini dengan kembali pada judul awal. Di masa yang mudah sekali kita mendapatkan provokasi-provokasi negatif secara masif khususnya dari media sosial dan lingkungan kita yang terkadang terlalu toxic dan memiliki crab-mentality, semoga segala hal baik yang kita lakukan dan juga pencapaian-pencapaian kita terlepas kecil mungkin nampaknya bagi kita, ataupun memiliki dampak yang tak seberapa, tetapi dapat memberikan provokasi-provokasi positif lainnya kepada circle-circle yang kita miliki. Janganlah melihat pencapaian orang lain dalam konteks kecemburuan, tetapi gunakanlah sebagai inspirasi untuk memberdayakan diri kita. Bagi para jiwa pembelajar di luar sana, yang terus berkeinginan untuk belajar, walaupun dalam segala keterbatasan, teruslah belajar, dan teruslah memberikan “PROVOKASI POSITIF”.
Sebuah tulisan oleh MAS. Radita Sonix, ST., MBA., CPM (Asia)., CMT., MMC., NCT., CP-NNLP. (and hopefully in the upcoming not-so-distant future: Ph.D.)
