Memahami dan Menjalani Hidup

Mencoba memahami dan ataupun menjalani kehidupan tidaklah pernah mudah.

Puluhan filsuf sejak dahulu mencoba memahaminya dengan cara memberikan definisi mengenai arti kehidupan dalam bermacam cara yang mereka bisa ungkapkan. Mungkin sama, mungkin juga berbeda. Dan tidak hanya para filsuf, saya yakin masing-masing dari Anda juga memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan pengertian tentang hidup.

Perbedaan-perbedaan tersebut sebenarnya (kalau boleh saya katakan), tidak ada yang salah. Semuanya bisa jadi benar, dan bisa jadi juga, kesemuanya saling berbeda dan bahkan bertolak belakang 180 derajat. Kenapa bisa begitu? Jawabannya adalah karena (sayangnya) pendefinisian kita ataupun filsuf-filsuf tersebut tentang arti kehidupan ini sangat subjektif bukannya objektif.

Pendefinisian tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupan. Mereka yang sedang jatuh cinta, mereka yang dirudung kesedihan, mereka yang mengalami kesusahan hidup, mereka yang dekat dengan Tuhan, kesemuanya akan memberikan definisi-definisi yang berkaitan dengan apa yang mereka alami dalam hidup.

Hal tersebut (perbedaan pengalaman hidup tadi) kalau boleh saya simpulkan telah membuat kita untuk tidak mungkin memberikan definisi yang objektif mengenai kehidupan. Dan kalaupun bisa, tidak akan mudah dalam memahami kehidupan itu.

Khalayak umum pun mulai menyadari akan hal itu, sehingga muncul ungkapan lain (kebanyakan dari penganut faham realisme): ”Jangan terlalu repot memikirkan dan mencoba memahami tentang kehidupan, yang penting menjalaninya”

Hmmm, pertanyaannya adalah: “Apakah lebih mudah menjalani kehidupan daripada memahaminya?”

silhouette photo of man on cliff during sunset

Untuk mereka yang hidup di kalangan menengah ke atas, tanpa terlalu banyak beban hidup, dan juga sedikit permasalahan kehidupan, mungkin menjalani kehidupan tidak akan terlalu susah untuk dijalani. Mungkin ada satu dua percikan masalah, tapi tidak akan terlalu susah untuk dijalani dan diselesaikan.

Hmm, (untuk Anda yang merasa termasuk di golongan yang saya sebutkan :p) jangan marah dulu. Saya juga yakin bahwa setiap manusia memiliki cobaannya masing-masing, sehingga kesulitan hidup yang lain bisa jadi Anda alami, dan belum tentu itu mudah bagi Anda.

Kesimpulan awal? Hidup tidaklah mudah, baik untuk dipahami maupun untuk dijalani. Dan mereka yang tidak berhasil dalam memahami dan menjalani hidup itu juga tidak sedikit, yang akhirnya memilih untuk menyerah dan meninggalkan kehidupan itu.

Tulisan ini dibuat ketika saya juga mengalami detik-detik menyerah tersebut. Sekilas jika Anda mengenal saya secara pribadi, Anda akan tahu bahwa saya seorang yang cukup optimis dalam menghadapi hidup, seseorang yang cukup menjalani kenikmatan hidup dalam impian-impian yang telah saya raih, seseorang yang tidak akan gampang menyerah dalam menghadapi hidup, tetapi juga akan menginspirasi orang-orang di dekat saya untuk tidak menyerah juga. But finally, I found my weaknesses. A weakness that I never thought it would come for the second time in my life and many times again and again. “I’ve chased my dream, I’ve lived my dream, but now I’ve faced my worst nightmare

Saat pertama kali saya menghadapinya beberapa tahun silam (kurang lebih 6-7 tahun yang lalu), rasa menyerah itu telah membuat pandangan saya kosong (numb) selama beberapa saat, dan bahkan karena itu, saya terpaksa menghadapi suatu kecelakaan motor hebat yang hampir merenggut nyawa saya.

 

Saya terpeleset dengan motor saya dalam kecepatan 100 km/jam, helm standard saya (helm cakil istilahnya waktu itu) terbentur tiang beton dan terlepas dari kepala saya. Saya masih terseret dengan motor saya, sampai motor saya membentur tiang beton yang lain, dan sayapun masih terseret sesudahnya. Dan akhirnya (proses terseretnya saya :p) terhenti ketika dada saya terbentur tiang beton yang lain lagi. Saya kehilangan nafas beberapa saat setelah itu. Dan ketika saya tersadar, penduduk sekitar memberikan saya air putih yang saya tidak langsung minum saat itu, karena otak saya terlalu kreatif :p. Saya teringat film Andy Lau saat itu, dimana dia juga jatuh kecelakaan dan dia sehat-sehat saja, tapi setelah minum soft drink dalam kaleng yang membuat dia jatuh, dia muntah darah dan mati 😀 jadi saya mikir lama banget sebelum saya minum :p (kasihan penduduk itu, karena dia tetap meminta saya minum biar tenang :p)

Dan seperti yang saya bilang tadi, I never thought that nightmare could happen again and again and again. Dan dalam masa-masa ini, kembali saya mempertanyakan dan mencoba memahami tentang arti kehidupan, dan bagaimana saya bisa menjalani dan melanjutkan kehidupan saya.

Tapi, dua hal yang saya ingin mencoba berbagi ke Anda.

Satu, kutipan seorang profesor di kampus lama saya, seorang Profesor J.E. Sahetapy: ”Make a life, not just a living” yang saya coba artikan secara bebas dalam artian saya, ”Jangan terlalu banyak memikirkan arti kehidupan bagi Anda sendiri, jangan berhenti dalam mencari kehidupan dan menghidupi diri sendiri, tapi berikanlah (dalam hidup Anda) kehidupan buat orang lain dan sekitar Anda. Karena ketika Anda hanya hidup untuk diri Anda sendiri dan tidak memberikan arti buat orang lain, maka hidup Anda akan sia-sia. Mungkin sukses bagi Anda, tapi akan sia-sia buat dunia. Dan jika dunia tidak membutuhkan Anda, Anda bukan apa-apa.

Hal kedua yang ingin saya bagikan adalah salah satu yang saya pelajari dari Ayah saya. Seorang yang mungkin tidak terlalu dekat bagi saya karena kemandirian saya, tapi sangat saya hormati. Pernah suatu saat dia cukup sakit (bukan sakit-sakit biasa, tapi sakit yang cukup mengganggu dan mengkhawatirkan bagi kami) dan butuh istirahat, dan saya serta Ibu saya menyuruh dia untuk istirahat. Tapi yang terjadi, dia malah jalan keluar, mengunjungi salah satu warga jemaat di gereja kami. Saya kemudian telpon dia, dan marah :p menanyakan kenapa sih dia tidak mau dan menurut untuk istirahat, padahal dia dalam kondisi sakit, kalau ada apa-apa kan bahaya. Dan dia menjawab karena orang yang dikunjunginya mengalami kesusahan lebih daripada sakit yang ayah saya alami. Dan ayah saya memilih untuk menjenguk, memberikan nasihat, dan menguatkan orang ini, daripada beristirahat dan menyembuhkan sakitnya.

Apa yang dia lakukan mungkin bisa menjawab dengan kutipan yang dulu sempat saya buat: “You can learn to motivate others, you can even become a great motivator, but to motivate yourself is never an easy thing to do”. Begitu juga ketika saya atau motivator lain mengalami kesusahan, untuk bangkit sendiri itu susah. Dan salah satu cara untuk bangkit adalah dengan cara memotivasi dan menolong orang lain yang lebih membutuhkan, walaupun masalah kita sendiri tidak ada jalan keluarnya.

Saya tidak mengakhiri tulisan ini dengan memberikan arti dan ataupun mengajari Anda bagaimana cara menjalani kehidupan. Tapi saya harap, dua sharing saya diatas semoga membantu Anda dalam memahami dan menjalani kehidupan Anda.

Saya tambahkan kutipan terakhir dari Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark yang hidup di awal abad ke 18: “Hidup hanya bisa dipahami bila kita melihat ke belakang, dan hanya bisa dijalani bila kita melihat ke depan”

"Hidup hanya bisa dipahami bila kita melihat ke belakang,

dan hanya bisa dijalani bila kita melihat ke depan"

Soren Kierkegaard

Share this IQ Notes: