LDR

Hubungan Jarak Jauh, yang lebih dikenal dengan LDR (Long Distance Relationship), sering kali dianggap sebagai ujian cinta sejati. Sebuah ujian di mana jarak menjadi tantangan yang harus dilalui untuk membuktikan kekuatan hubungan dan rasa cinta yang dimiliki. Tak sedikit yang berhasil melewatinya, meskipun lebih banyak yang berguguran di tengah jalan. Kata mereka: “Yang penting itu komunikasi”, meskipun jarak memisahkan, tetapi di era teknologi komunikasi yang terus berkembang, baik melalui layanan pesan singkat maupun video call, apakah komunikasi masih menjadi masalah utama?

Sekitar dua dekade yang lalu, dunia terasa sangat besar, terutama bagi saya. Tidak hanya besar, tetapi juga teramat indah. Mengapa “indah”? Karena pada saat itu saya sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, cinta yang harapannya bertahan selamanya. Namun, di tengah perjalanan, hubungan kami harus diuji oleh jarak yang memisahkan ribuan kilometer. Saat itu, saya menjalani masa akhir perkuliahan di Surabaya, sementara kekasih hati saya harus menempuh pendidikan di China selama beberapa bulan.

Bagi kaum Gen-Z, situasi LDR di era saya mungkin sulit dibayangkan. Jangan membayangkan pesan-pesan mesra di WhatsApp yang bisa dikirim setiap saat, atau sleep-call sebelum tidur untuk menemani pasangan hingga terbawa dalam mimpi indah. Bahkan aplikasi perpesanan seperti BlackBerry Messenger (BBM) pun belum ada. Satu-satunya cara berkomunikasi singkat adalah melalui SMS, yang kalau saya tidak salah ingat, biayanya sekitar 350 rupiah per pesan. Ini memaksa kita memilih kata-kata dengan sangat hati-hati, mengingat ada batas maksimal 160 karakter per pesan. Jika ingin berargumen panjang lebar, satu-satunya cara adalah melalui email, dan tentu saja harus sabar menunggu balasan yang bisa datang beberapa hari kemudian.

Memang, ada Skype pada waktu itu—pionir layanan video call yang diluncurkan pada tahun 2003. Namun, keterbatasan internet menjadi hambatan utama. Telepon genggam pada masa itu mayoritas masih berlayar monokrom dengan nada dering polyphonic. Jumlah teman yang memiliki ponsel dengan koneksi internet mumpuni bisa dihitung dengan jari. Jika sinyal Skype tidak memadai, kami terpaksa beralih ke warnet (warung internet) untuk menyamakan waktu dan mencoba chat melalui mIRC atau Yahoo Messenger untuk sedikit mengobati rindu.

Namun, semua itu tetap hanya sebatas teks, karena keterbatasan sinyal dan platform yang belum stabil. Kerinduan akan suara kekasih jelas tidak terobati. Menelepon secara langsung pun terlalu mahal, apalagi telepon internasional. Bahkan, telepon antar kota saja, yang biasa disebut interlokal, sudah cukup mencekik dompet. Wartel (warung telepon) menjadi alternatif, di mana kita bisa memantau biaya telepon layaknya argo taksi yang terus bergerak setiap beberapa detik. Pilihan untuk bertelepon dengan singkat tanpa basa-basi adalah satu-satunya jalan.

Pada masa-masa itu, ketika teknologi telepon genggam mulai bergeliat, provider kartu telepon pun sedang gencar-gencarnya promosi. Tak jarang mereka menjual kartu perdana dengan harga yang lebih murah daripada nilai pulsa yang dimiliki, misalnya jika Anda membeli kartu perdana dengan harga 5.000 rupiah, Anda bisa mendapatkan pulsa senilai 15.000 rupiah. Sungguh menguntungkan, bukan? Apalagi, belum ada kewajiban untuk mendaftarkan NIK setiap kali mengaktifkan kartu. Saya pun memanfaatkannya dengan baik. Saat-saat rindu tak terbendung, setidaknya dengan membeli kartu prabayar (yang hanya saya gunakan sekali pakai), saya bisa menghemat 70% setiap kali menelepon kekasih hati. Namun, karena pengisian pulsa selanjutnya menggunakan harga normal, saya tidak bisa terus menggunakan nomor yang sama, sehingga setiap minggu saya memborong kartu-kartu perdana dengan pulsa bonus tersebut. Tak ayal, ratusan bangkai kartu perdana terkumpul, yang saya tumpuk menjadi menara sebagai pengingat perjuangan cinta muda saya.

Saat itu, menjalani LDR memang membutuhkan usaha ekstra. Betul-betul sebuah tantangan. Namun, sekarang dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan komunikasi instan, seharusnya LDR menjadi lebih mudah. Ironisnya, meskipun teknologi sudah maju, tantangan LDR tetap ada—bukan soal keterbatasan teknologi, melainkan bagaimana kita menggunakannya. Banyak pasangan saat ini merasa lebih terpisah bukan karena jarak, tetapi karena kurangnya kesabaran.

Kemajuan Teknologi dan Perubahan Tingkat Kesabaran

Di dunia kerja, situasi serupa juga terjadi. Tidak mungkin kita selalu berada di tempat yang sama dengan klien atau customer, sebagaimana di masa sekolah kita sering bertatap muka. Jarak sering kali memisahkan kita, baik antar negara maupun antar kota. Jangankan antara klien dan customer, secara internal perusahaan sendiri, jarak terkadang memisahkan kita, baik yang bekerja di perusahaan multinasional dengan atasan expat yang berada di negara lain, maupun dalam konteks yang masih dalam satu negara, ketika kita harus melakukan kunjungan ke pelanggan di luar kota dan sejenisnya.

Hal ini mengingatkan saya pada cerita yang disampaikan oleh atasan saya di tempat kerja sebelumnya. Saat itu, ia bercerita tentang masa-masa meniti karier sebagai seorang sales engineer di kisaran tahun 90-an. Waktu itu, katanya: “Ketika kita harus mengikuti tender untuk barang yang masih diproduksi di luar negeri dan tidak ada perwakilannya di Indonesia, kita harus mengirim semua permintaan informasi teknik lewat fax, dan balasannya baru diterima dua hingga tiga minggu kemudian. Begitu pula dengan permintaan harga. Bisa-bisa malam sebelum waktu submission tender, kita semua harus menginap di kantor, berharap ada fax masuk berisi penawaran harga dari pabrik luar negeri, lalu segera kita compile untuk diserahkan ke pelanggan, balapan dengan waktu.”

Ada pula cerita lain ketika ia harus berangkat mengunjungi pelanggan di luar kota, yang tidak hanya mengharuskannya terbang, tetapi juga menempuh 3-6 jam perjalanan darat ke pabrik yang terpencil. “Saat kita harus visit, seolah-olah pamitan dengan tim di kantor, ‘sampai ketemu minggu depan’,” dan benar, dalam seminggu apa pun yang terjadi di kantor pelanggan atau jika ada masalah di Jakarta, tim harus menyelesaikannya sendiri tanpa arahan dari atasan. Mengingat keterbatasan sarana komunikasi saat itu, satu-satunya cara jika terjadi keadaan darurat adalah dengan menghubungi pager atasan, yang merupakan alat komunikasi satu arah. Beliau pun harus mencari pinjaman telepon di kantor klien, atau kembali memanfaatkan wartel di luar area pabrik. Mengingat lokasi klien yang terpencil, tidak banyak wartel di sana. Semua itu masih ditambah dengan kejelian dalam menerjemahkan pesan singkat pager yang kapasitasnya penulisannya juga terbatas.

Di masa itu, customer dan klien sangat sabar menunggu. Mereka paham bahwa komunikasi memerlukan waktu. Namun, sekarang, kesabaran seolah memudar. Email atau pesan WhatsApp yang tidak direspons dalam hitungan jam sering kali dianggap sebagai tanda diabaikan. “Slow-respond“, begitu mereka bilang. Dunia bergerak cepat, dan kita dituntut untuk bergerak lebih cepat lagi. Namun, ironisnya, ketelitian pun ikut menurun. Proses revisi dokumen yang dulu membutuhkan ketelitian, mengingat jika ada yang sudah terlanjur terkirim tak mudah untuk direvisi, kini bisa berulang puluhan kali karena kemudahan teknologi, yang membuat revisi terasa sepele.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ketidaksabaran ini semakin jelas terlihat. Dalam aplikasi layanan transportasi online seperti Gojek atau Grab, misalnya, ketika driver terlihat tidak bergerak dalam satu menit saja, banyak pelanggan yang langsung membatalkan pesanan dan memesan ulang. Jika tidak, sering kali mereka memberikan penilaian bintang lebih rendah, menganggap driver tidak responsif. Teknologi telah membentuk ekspektasi akan kecepatan, sementara kesabaran dan ketelitian justru menurun.

Komunikasi yang "terbatas" di Balik Layar

Ironisnya, meskipun teknologi sekarang begitu canggih, orang sering kali memilih jalan pintas dalam berkomunikasi. Di lingkungan kantor, kita sering melihat rekan kerja yang duduk bersebelahan di ruangan yang sama tetapi lebih memilih mengirim chat daripada berbicara langsung. Alasannya? Karena dianggap lebih cepat dan efisien, tak perlu bangun dari tempat duduk, atau sedang sibuk dengan banyak hal lain, begitu katanya. Tapi apakah benar demikian? Banyak kasus menunjukkan bahwa chat sering kali menimbulkan miskomunikasi karena pesan singkat tidak memiliki nada dan konteks yang cukup untuk dipahami dengan jelas.

Di sisi lain, penggunaan teknologi sering kali dijadikan “tameng” dalam bekerja. Selama saya sudah mengirim email atau pesan WhatsApp, berarti tugas saya selesai, bolanya bukan lagi di tangan saya. Tanggung jawab seolah berpindah kepada penerima, entah mereka sudah membaca atau belum. Hal ini justru sering kali menyebabkan miskomunikasi, di mana pesan hanya dianggap “sent” atau “delivered,” tetapi tidak di-follow up atau dipastikan bahwa pesan tersebut dipahami dan ditindaklanjuti (meminjam istilah WhatsApp, belum ter-“read”).

Padahal, dalam konteks kerja yang dinamis, komunikasi verbal atau face-to-face sering kali mampu menyelesaikan masalah lebih cepat daripada berbalas pesan yang bisa memakan waktu dan menimbulkan kesalahpahaman. Prinsip ini sejalan dengan metode AGILE, yang menekankan pentingnya komunikasi langsung dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan kolaborasi. AGILE mengajarkan bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga kualitas. Dalam banyak kasus, tatap muka jauh lebih efektif dan membangun koneksi manusia dibandingkan pesan tertulis yang bisa disalahpahami.

Prinsip C2C E2E: Call to Confirm, Email to Execute™

Itulah mengapa IQ DEVPRO® kemudian mengenalkan konsep C2C E2E (Call to Confirm, Email to Execute)™. Konsep C2C diperlukan ketika sebuah informasi atau keputusan disampaikan melalui email; tetap perlu di-follow up dengan panggilan telepon atau pesan instan (disertai balasan) untuk memastikan bahwa apa yang sudah disampaikan tidak hanya diterima, tetapi juga dibaca, dan benar-benar dipahami agar bisa dieksekusi dengan tepat. Memastikan informasi tersampaikan mencegah miskomunikasi, yang bisa jadi karena email tidak terbaca, tertumpuk di antara pesan lain, atau masalah teknis yang membuat email tidak terkirim. Komunikasi verbal (C2C) bertujuan memastikan bahwa sebuah informasi benar-benar terkirim (sent), diterima (delivered), dibaca (read), serta dipahami (understood) untuk memastikan eksekusi sesuai harapan.

Namun, di sisi lain, dalam situasi tertentu kita membutuhkan proses yang terbalik, yaitu E2E. Terkadang, demi mempersingkat waktu, percakapan verbal atau melalui telepon sering kali dilakukan untuk menyelesaikan sebuah tugas atau masalah dengan cepat. Meskipun ini lebih efektif, kita tetap perlu mengonfirmasi keputusan atau kesepakatan verbal ini melalui email yang ditulis secara detail agar dapat dieksekusi dengan tepat. Proses ini memastikan bahwa semua pihak memiliki dokumentasi yang jelas dan dapat bertindak sesuai informasi yang diberikan, terutama dalam menjaga tata kelola perusahaan yang baik.

Menghidupkan Kembali Esensi Komunikasi

Kembali ke judul artikel ini. LDR, baik dalam konteks hubungan pribadi maupun dalam dunia kerja, selalu memiliki tantangan tersendiri. Teknologi telah membuat komunikasi menjadi lebih cepat dan mudah, tetapi di sisi lain, manusia sering kali terjebak dalam kemudahan tersebut dan melupakan esensi dari komunikasi yang efektif. Miskomunikasi internal atau dengan pelanggan, atau ketidaksabaran pasangan karena pacarnya telat membalas pesan WhatsApp dalam beberapa jam, menjadi ancaman tersendiri. Semoga prinsip C2C atau E2E mengingatkan kita bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal kecepatan dan pengiriman pesan, tetapi juga memastikan bahwa pesan tersebut diterima, dipahami, dan dapat dieksekusi dengan tepat, atau setidaknya perlu di-follow up ulang dan tidak diabaikan.

Apakah Anda sudah menerapkan prinsip ini dalam komunikasi Anda, baik dengan pasangan maupun di tempat kerja? Jika belum, mungkin ini saat yang tepat untuk memikirkan kembali bagaimana kita berkomunikasi di era teknologi yang serba cepat ini. Siapa tahu, LDR yang Anda jalani, baik dengan orang tercinta atau dengan klien, bisa jadi lebih kuat jika diimbangi dengan komunikasi yang lebih baik.

Share this IQ Notes: