Kacamata Senyum

Pernah saya membaca suatu artikel di suatu majalah yang sayang sekali saya lupa judul artikel dan majalahnya apa, tapi saya ingat dengtan persis bahwa artikel tersebut merupakan artikel yang dilengkapi dengan banyak foto-foto untuk menjelaskan lebih lugas kepada pembaca mengenai isi artikel tersebut. Memang benar kata mereka, a picture speaks a thousands word.

Di artikel tersebut, terpampang foto seorang nenek ompong yang berpakaian seadanya, duduk di tangga rumah memandang kita. Foto beberapa anak yang berdesak-desakan di jendela rumah, saling berebut untuk menunjukkan muka polos dan kucel mereka kepada kamera. Ada juga beberapa foto orang dewasa yang bekerja di tempat pembuangan sampah, di atas bukit-bukit sampah yang menggunung dan beraroma tak sedap. Serta foto seorang anak balita telanjang yang sedang bermain di genangan air kotor, sisa dari hujan semalam, dengan latar belakang rumah-rumah di pinggiran sebuah sungai.

Sekilas (jika anda tidak membaca isi artikelnya, dan hanya mengandalkan definisi saya atas foto-foto tersebut) mungkin Anda akan segera membayangkan betapa menyedihkan kehidupan yang coba diangkat dari kamera penulis artikel ini. Anda akan mulai membayangkan betapa rendahnya taraf kehidupan mereka, compang-campingnya pakaian mereka, betapa kotor tempat tinggal mereka yang ada di pinggiran sungai, serta betapa menyedihkannya tatapan mereka di kamera.

Dan, ketika Anda mencoba menyelami pikiran mereka, yang Anda coba pikirkan adalah “Makan apa ya kita besok?”, “Kenapa kita harus menderita seperti ini?”, atau mungkin “Aduh Tuhan, kapan kita bisa bebas dari hal menyedihkan seperti ini?” Itukah yang Anda bayangkan sekarang?

four boys laughing and sitting on grass during daytime

Well, Anda HAMPIR BENAR akan semua itu, tentang taraf kehidupan dan apa yang sedang ada di pikiran mereka. Tapi saya yakin, kebanyakan dari Anda melupakan satu detail sederhana yang memungkinkan ada di foto tersebut. Dalam semua foto tersebut, anehnya, setiap dari mereka tidak menunjukkan raut muka yang sedih dan tersiksa, tapi berkebalikan dari itu, mereka semua tersenyum. Lebih aneh lagi, senyum mereka bukanlah senyum yang dipaksakan seperti halnya senyum narsis kita ataupun senyum ketika kita sungkan untuk tidak tersenyum di depan kamera. Tidak, senyum mereka adalah senyum yang lepas, senyum keceriaan yang luar biasa, senyum seseorang yang sedang menikmati liburan bersama orang yang disayanginya, SENYUM KEBEBASAN.

Dan memang itulah yang coba diangkat oleh si penulis dan fotografer artikel tersebut. Artikel tersebut sejatinya merupakan artikel pariwisata, dan memang mereka tidak sedang berupaya mengetuk hati nurani kita untuk menolong mereka yang sedang kesusahan, tapi mereka mencoba memberikan sudut pandang baru kepada dunia luar mengenai salah satu kultur dari bangsa kita, yaitu A Smiling Country. Mereka mencoba menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ceria, yang walaupun mungkin taraf kehidupan kita rendah, dan nasib kita yang sangat menyedihkan, tapi kita masih bisa menyempatkan diri untuk tersenyum kepada orang lain.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga seperti itu? Seorang yang selalu tersenyum dengan bebas kapan saja dan dimana saja? Ataukah Anda sudah tergabung dalam suatu kelompok besar yang dengan tegas menyatakan bahwa hidup Anda sangat berat, dan Anda harus menjalani kehidupan ini dengan terpaksa, serta tersiksa dalam setiap beban dan permasalahannya?

Ada pepatah jawa yang menyatakan, Urip iku ojo sawang sinawang yang jika diterjemahkan kurang lebih berarti: “Hidup itu jangan hanya melihat kelebihan orang lain saja, jangan cemburuan, karena walaupun orang lain punya kelebihan atas sesuatu, mereka pasti juga punya kekurangan yang mereka sesali, yang bisa jadi, mereka sebenarnya juga cemburu atas hal-hal yang Anda miliki”.

Nah, kalau begitu, jika memang setiap dari kita punya kelebihan dan kekurangan, jika memang setiap dari kita terkadang diberkati dan terkadang pula sial oleh bencana, kenapa kita tidak jalani saja kehidupan ini dengan tersenyum? Lagi pula, memandang kehidupan dengan bermuram durja, tidak akan membantu kita untuk keluar dari permasalahan kita, malah membebani kita dan orang di sekitar kita mungkin.

Tanpa senyum, kita jadi memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kita pikirkan, orang bisa khawatir karena melihat kekhawatiran kita, dan bahkan orang bisa ikut bersedih karena kita. Saya selalu mengatakan, senyum dan kesedihan merupakan dua hal yang bisa memicu suatu reaksi berantai (chain reaction). Anda bisa tersenyum ketika melihat orang lain tersenyum kepada Anda, dan Anda bisa bersedih pula karena orang lain juga sedang menunjukkan kesedihannya kepada Anda.

Jadi, bangunlah dari tempat duduk Anda, dan mulailah hari Anda dengan tersenyum lepas dan bebas kapanpun dan dimanapun Anda berada serta apapun permasalahan yang ada di diri Anda saat ini. Entah Anda sedang sendirian di kamar Anda, bertemu keluarga dan rekan Anda, atau mungkin ketika Anda bertemu seorang asing di perjalanan Anda. Tersenyumlah, dan perhatikan bahwa orang yang Anda berikan senyuman, juga akan tersenyum kembali kepada Anda, dan Anda akan menikmati kesejukan di hati Anda.

Lepaskan kacamata kuda Anda, dan mulailah mengenakan KACAMATA SENYUM, kacamata yang akan membantu Anda untuk tidak sekedar melihat kesengsaraan hidup Anda, tapi kacamata yang akan membantu Anda untuk melihat dunia ini dari setiap berkat yang Anda miliki, setiap keindahan dunia, setiap kebahagiaan Anda, sekecil apapun itu, karena ketika Anda tersenyum, dunia akan membalas senyuman itu kepada Anda. Smile to the world, and the world will smile back at you 🙂

Share this IQ Notes: