Ada Malas Ada Harga

Tulisan ini dibuat pada tanggal 08 Agustus 2016.

08 August 2016. Its interesting, cause 08 August 2016 can be shortened as 08/08/16 and 08+08=16. Magical? Nope, and it doesnt related to any of the material topic written below.

Ada Barang Ada Harga, suatu istilah yang pastinya cukup sering kita dengar setiap harinya dalam kita menjalani kehidupan kita. Istilah singkat dan sederhana yang sejatinya cukup ambigu jika berusaha dimengerti menurut kaidah Bahasa yang disempurnakan. Barang Apa? Harga Apa?

Tapi, mengingat istilah ini sudah cukup lama kita dengar, beberapa dari kita mungkin tidak menganggap hal ini sebagai istilah, hanya kosakata biasa aja yang secara tidak langsung bisa diartikan: Jika kita menginginkan suatu barang yang berkualitas bagus, tentunya harus ada harga yang cukup mahal untuk diinvestasikan.

Di dunia jual beli, istilah ini makin santer didengar, baik hanya sekedar diucapkan oleh tukang sayur yang harus menghadapi “hard bargain” dari ibu-ibu kompleks yang selalu memprotes kenapa harga sayur ini lebih mahal dari tukang sayur yang lain tiap paginya, ataupun oleh seorang Sales Manager yang berusaha meyakinkan perusahaan besar untuk membeli barang dagangannya dalam kompetisinya dengan merk lain. Ada Barang Ada Harga, kalau memang kualitas sayur/barang bagus yang anda cari, ya Anda harus mau keluar investasi lebih besar. And, trust me when I say this: Sometimes, those mothers, makes a really “rock-bottom price” negotiation more than what a big oil and gas company willing to go (for mom’s who read this, please understand this is a joke, dont sue me :p)

a person pushing a cart full of food

In the bigger scaleAda Barang Ada Harga, tidaklah sekadar mengejar kualitas dari barang, terkadang batasan investasi yang memungkinkan untuk dikeluarkan membatasi keinginan kita untuk mendapatkan kualitas yang diingini tersebut. Contoh mudahnya, kita yang ingin mengikuti trend dengan handphone terbaru dengan segala fiturnya. Sensor sidik jari dan sensor retina semisalnya, yang walaupun diciptakan untuk melindungi gawai digital kita (for those of you who dont know yet, gawai means gadget in Indonesia) dari intipan orang asing, terkadang hanya dipakai selama 1-2 bulan usia gawai, sesudahnya kita tak lagi nyaman ataupun sempat menggunakan gawai dengan fitur pintar ini. Tapi batasan tabungan kita mungkin hanya mampu dibelikan suatu handphone dengan fitur “face recognition”. Bukan, bukan face recognition yang bisa membuka akses handphone Anda ketika mengenali muka Anda di layar. Tapi face recognition dengan cara memasang pose selfie muka Anda yang paling jelek, dan menjadikannya sebagai screensaver, sehingga membuat setiap orang asing yang ingin mengakses handphone Anda gemetar ketakutan dan mengurungkan niatnya hahahaha.

Batasan Ada Barang Ada Harga, juga seringkali membatasi mereka yang bertugas sebagai “procurement” dalam suatu institusi baik pemerintah maupun swasta, dengan tujuan mendapatkan kualitas yang sebaik-baiknya, demi kelancaran produksi tentunya, tapi tetap dengan mengeluarkan biaya yang sehemat-hematnya. Still, prinsip ekonomi masih dipegang teguh. Jika tidak, boss will yell at you, or law enviction will sue you.

Contoh dari Ada Barang Ada Harga yang paling membuka mata bagi saya adalah ketika Rockhound, seorang tokoh dalam salah satu film scifi mengatakan kepada Harry Stamper (played by Bruce Willis) di film Armageddon sesaat sebelum mereka menyalakan roketnya mengarungi angkasa adalah: You know we’re sitting on four million pounds of fuel, one nuclear weapon and a thing that has 270,000 moving parts built by the lowest bidder. Makes you feel good, doesn’t it? Sekumpulan orang dalam misi luar angkasa terhebat, terbesar, termegah sepanjang masa (menurut film itu) dengan tujuan menyelamatkan umat manusia, masih tetap membangun roket itu dengan biaya semurah mungkin. Crazy, maybe, but it mostly fact. Mungkin itu sebabnya juga, terkadang saya tidak yakin untuk menaiki wahana-wahana dunia fantasi yang eksotis memicu adrenalin, karena walaupun seberapa banyak pengaman yang digunakan, seberapa canggih teknologinya, kontraktornya masih paling murah, harus bisa menghemat yang bisa dihemat (apapun itu) hahaha.

Ada Barang Ada Harga.

Well today, another near similar quote menghampiri saya dari seorang teman, panggil aja dia “akak” 😁. Dimulai dari rasa malas untuk mencari makan malam (dikarenakan kurang tidur, usai melakukan perjalanan 250-300 km, hujan turun cukup deras membuat ranjang saya memanggil tubuh saya untuk didekap olehnya) tapi rasa lapar itu sungguh tidak tertahan. Eventually akak said: Get a delivery service. And despite of rasa malas saya, cengkeraman peristaltik di lambung saya yang mulai menjerit-jerit telah berhasil memberikan motivasi yang jauh lebih hebat dari kata-kata Pak Mario Teguh (an Indonesian motivator) untuk saya memesan makanan.

Makanan dipesan, makanan datang, tagihan pun muncul yang harus dibayar. Tidak sampai mencekik leher, tapi ada biaya “delivery service” disana yang membuat saya berkata “mahaaaal”And  akak just said Ada Malas Ada Harga, yang secara harafiah diterjemahkan karena saya malas, memang saya harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengakomodir kemalasan saya, yang mungkin seharusnya bisa diselesaikan dengan saya memasak mie (murah, cepat, dan beraneka rasa), ataupun berkendara di dinginnya malam jakarta membeli makanan yang murah meriah di warung pinggir jalan.

But, there it is, a very random thought yang muncul hanya karena keisengan, tetapi memang jika dipikirkan secara mendalam merupakan dasar dari banyak startup yang ada saat ini untuk membangun bisnis mereka, bisnis yang mengandalkan “kemalasan” manusia untuk mendapatkan sesuatu. And, untuk bisa menikmati kemalasan itu, mereka dengan sukarela “willing” untuk mengeluarkan biaya lebih dari yang seharusnya mereka keluarkan. Biaya delivery, biaya langganan, biaya booking.

Ada satu startup yang dengan menjadi subscriber mereka, and bisa seolah-olah mendapatkan asisten pribadi yang bisa membantu anda melakukan pemesanan restoran, membelikan kopi untuk anda, membantu beli belanjaan, dan banyak hal lainnya.

Ada Malas Ada Harga, juga nampak dalam kehidupan kita yang seharusnya tidak dilakukan. Calo. Calo tiket, calo surat administratif, bahkan calo makam fiktif, yang walaupun beberapa dari mereka ada secara ilegal tetapi calo-calo ini lahir dan berkembang dikarenakan kemalasan kita. Malas beli tiket, malas antri, malas berhadapan dengan orang institusi yang ribet dan berbelit-belit, malas lama, malas mendapatkan slot makam yang jauh dari jalan masuk kuburan. All of that occur and happen karena kita malas dan kita mau membayar lebih untuk itu.

So, kesimpulannya?

  1. Sebisa mungkin jangan jadi orang yang malas, semakin malas, maka kemungkinan Anda mengeluarkan biaya lebih besar semakin tinggi. (itu mungkin juga sebabnya orang tua kita dari dulu mengoceh “jangan malas belajar, nanti susah”)
  2. Kalaupun toh Anda memilih menjadi malas dan tidak keberatan mengeluarkan biaya lebih, jangan sesudahnya marah/benci/ngomel ke manapun (termasuk di media sosial) bahwa ada orang-orang yang menyalahgunakan kemalasan Anda dengan menjadi calo dsb untuk memfasilitasi kebutuhan Anda, apapun itu.
  3. Jika Anda sangat malas, terutama malas untuk bekerja di perusahaan Anda saat ini, apapun alasannya, ingatlah Anda bisa membuat bisnis sendiri (startup) dengan memanfaatkan kemalasan orang lain. Dan pada masa dunia saat ini, startup-startup sejenis itu lumayan menjanjikan.
  4. Kalo masih lapar juga, dan tidak punya uang buat delivery, minta ortu masakin aja, atau minta dikirimin biar gratis 😂🤣

 

Dalam kata lain: Sesudah membaca artikel ini, membuat Anda Malas bekerja, dan Anda bisa memanfaatkan Malas-nya orang lain untuk menghasilkan uang lebih agar Anda bisa membayar orang lain memenuhi ke-Malas-an anda yang lain. Itupun, jikalau Anda tidak Malas membaca artikel ini. Ah sudahlah, saya Malas meneruskan.

SALAM-MALAS

(yang sesuai awal artikel ini, its magically interesting it is an exact anagram opposite) Voila.

Share this IQ Notes: